masukkan script iklan disini
Lumajang, SUARARAKYAT -
Sebuah insiden mengejutkan terjadi di SMPN Satu Atap Desa Alun-Alun, Kecamatan Ranuyoso, Lumajang, pada Senin (14/4/2025). Proses belajar-mengajar terganggu karena gedung sekolah ditutup oleh pemilik lahan, yang juga merupakan petugas kebun sekolah. Penutupan ini diduga dipicu oleh konflik berkepanjangan terkait gaji dan status pekerjaan yang tak kunjung jelas.
Penutupan sekolah terjadi pada Minggu sore (13/4/2025) sekitar pukul 16.30–17.00 WIB. Gedung sekolah ditutup oleh pihak pemilik lahan, yang diketahui adalah Pak Sholeh, petugas kebun sekaligus pemilik tanah tempat berdirinya SMPN Satu Atap tersebut. Ia menutup akses sekolah karena merasa hak-haknya diabaikan oleh pihak sekolah.
Dalam penelusuran di lapangan, seorang awak media yang mencoba meminta klarifikasi kepada Kepala Sekolah justru mendapat penghalangan dari salah satu guru. Awak media tersebut mengaku kecewa karena tidak diberi ruang untuk mencari informasi yang sebenarnya.
“Kami datang ingin klarifikasi, tapi dihalangi oleh guru dan dianggap masalah ini sepele. Padahal ini menyangkut hak siswa dan proses pendidikan,” ujar salah satu wartawan.
Tindakan penghalangan terhadap kerja jurnalistik dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin kemerdekaan pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi. Dalam Pasal 4 ayat (3) disebutkan bahwa “untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.”
Sebagaimana diatur dalam Pasal 28F UUD 1945, kemerdekaan pers merupakan bagian dari prinsip demokrasi dan hak asasi warga negara. Penghalangan seperti ini justru mencoreng citra dunia pendidikan dan mencederai demokrasi.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, berikut beberapa alasan yang melatarbelakangi aksi penutupan sekolah oleh pemilik lahan:
1. Pemotongan gaji selama tiga bulan terakhir (Januari–Maret 2025). Gaji yang seharusnya sebesar Rp850.000 per bulan (terdiri dari gaji pokok Rp600.000 dan bonus Rp250.000) dipotong menjadi hanya Rp400.000 per bulan.
2. Pengajuan status sebagai P3K yang telah diajukan sejak tahun lalu oleh Pak Sholeh (petugas kebun sejak 2008) belum mendapat kepastian hingga kini.
3. Status lahan sekolah yang masih merupakan milik pribadi Pak Sholeh, tanpa kejelasan kerja sama atau kompensasi resmi dari pihak sekolah.
Melihat dampak dari konflik ini, awak media mendesak agar pihak terkait, termasuk Dinas Pendidikan Kabupaten Lumajang, segera turun tangan menyelesaikan persoalan ini. Tujuannya agar kegiatan belajar siswa tidak terus terganggu, dan agar citra institusi pendidikan tidak tercoreng lebih jauh.
“Kami juga berharap adanya sanksi tegas terhadap oknum guru yang menghalangi tugas wartawan. Ini bukan hanya soal profesi, tapi soal hak masyarakat untuk tahu kebenaran,” pungkasnya.
(Bersambung...)